Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) tengah menjadi isu panas di tengah masyarakat. Pemerintah dan DPR mempercepat pembahasan Revisi UU TNI, namun banyak pihak menilai terdapat beberapa poin kontroversial yang berpotensi mengancam demokrasi. Salah satu sorotan utama adalah soal kembalinya peran ganda militer dalam pemerintahan serta minimnya transparansi dalam proses revisi.

Apa yang Diperdebatkan?

1. Prajurit Aktif Bisa Duduki Jabatan Sipil

Salah satu poin revisi yang paling dipersoalkan adalah pemberian izin bagi prajurit aktif TNI untuk menduduki posisi strategis di 16 kementerian dan lembaga negara. Banyak pihak khawatir kebijakan ini membuka jalan bagi kebangkitan dwifungsi ABRI—sistem yang memberi peran politik bagi militer pada era Orde Baru.

Pengamat hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengingatkan bahwa Reformasi 1998 bertujuan untuk membatasi peran militer dalam urusan sipil. Langkah ini dinilai sebagai kemunduran demokrasi dan berpotensi mengganggu prinsip supremasi sipil atas militer.

2. Usia Pensiun Prajurit Diperpanjang

Revisi UU TNI juga mengusulkan perpanjangan usia pensiun bagi prajurit. Jika sebelumnya batas pensiun untuk bintara dan tamtama adalah 53 tahun, revisi ini menaikkannya menjadi 58 tahun. Untuk perwira dinaikkan dari 58 menjadi 60 tahun, dan bagi mereka yang menjabat posisi fungsional hingga 65 tahun.

Sebagian pihak mempertanyakan urgensi kebijakan ini, mengingat regenerasi dalam tubuh TNI bisa terganggu. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa ini akan memperpanjang pengaruh petinggi militer di ranah pemerintahan.

DPR dan Pemerintah Dituding Tidak Transparan

Rapat pembahasan revisi UU TNI yang berlangsung pada 14-15 Maret 2025 di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, menuai kritik tajam. Diskusi yang dilakukan secara tertutup menimbulkan kecurigaan, terutama dari Koalisi Masyarakat Sipil yang menuntut transparansi dalam setiap tahap revisi.

Banyak yang mempertanyakan alasan di balik sikap tertutup ini. Apakah revisi ini dilakukan untuk kepentingan pertahanan negara atau justru mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu?

Pernyataan Pihak Terkait

  • KSAD Jenderal TNI Maruli Simanjuntak menegaskan bahwa TNI akan mengikuti keputusan akhir revisi UU ini. Ia meminta masyarakat tidak membuat polemik yang tidak perlu, serta menepis tudingan bahwa revisi ini bertujuan menghidupkan kembali Orde Baru.
  • Koalisi Masyarakat Sipil mendesak DPR dan pemerintah agar membuka proses pembahasan kepada publik. Mereka menilai revisi ini harus mempertimbangkan aspek demokrasi dan hak-hak sipil.

Kesimpulan: Revisi yang Perlu Dikaji Lebih Dalam

Revisi UU TNI yang dikebut tanpa keterbukaan berisiko menimbulkan dampak jangka panjang terhadap tatanan demokrasi Indonesia. Pemerintah dan DPR seharusnya tidak hanya berfokus pada kepentingan politik dan militer, tetapi juga mempertimbangkan aspirasi publik.

Apakah revisi ini benar-benar untuk memperkuat pertahanan negara, ataukah justru menjadi pintu masuk bagi militer kembali ke ranah politik? Jawabannya bergantung pada sejauh mana transparansi dan partisipasi publik dalam proses pembahasannya.