
Kisah Sawahlunto yang Nyaris Menjadi ‘Kota Hantu’
Sawahlunto, sebuah kota kecil di Sumatera Barat, pernah menjadi pusat industri batu bara yang ramai di masa kolonial Belanda. Namun, seiring dengan meredupnya industri tambang, kota ini hampir berubah menjadi ‘kota hantu’. Bagaimana kisahnya?
Masa Kejayaan Sawahlunto
Pada tahun 1868, Belanda menemukan cadangan batu bara yang melimpah di Sawahlunto. Penemuan ini mendorong pemerintah kolonial untuk membangun tambang batu bara secara besar-besaran sejak tahun 1892. Salah satu langkah strategis adalah pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan Sawahlunto dengan Pelabuhan Teluk Bayur di Padang pada tahun 1894, guna mempercepat distribusi batu bara ke berbagai wilayah.
Ribuan pekerja didatangkan dari berbagai daerah, termasuk narapidana yang disebut ‘Orang Rantai’. Mereka dipekerjakan dalam kondisi yang sangat buruk, dibelenggu dengan rantai besi, dan sering kali tidak bertahan lama karena lingkungan kerja yang keras dan minimnya perlindungan keselamatan.
Keberadaan tambang membawa kemajuan pesat bagi Sawahlunto. Kota ini dilengkapi dengan fasilitas modern seperti rumah sakit, sekolah, hotel, dan pusat perdagangan. Pemukiman dibangun dengan struktur yang rapi, mencerminkan kota industri yang maju pada masanya.
Kemunduran dan Ancaman Menjadi Kota Mati
Setelah Indonesia merdeka, tambang ini tetap beroperasi, tetapi produksinya mulai menurun sejak tahun 1970-an. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk berkurangnya cadangan batu bara yang dapat ditambang dan meningkatnya persaingan dari sumber energi lain seperti minyak bumi dan gas alam.
Pada tahun 2000, tambang batu bara di Sawahlunto secara resmi ditutup. Dengan berhentinya industri yang menjadi tulang punggung kota, ekonomi kota ini anjlok. Banyak penduduk kehilangan pekerjaan dan memilih pindah ke kota lain untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Bangunan-bangunan peninggalan kolonial pun mulai terbengkalai, jalanan sepi, dan banyak rumah kosong, sehingga Sawahlunto nyaris berubah menjadi kota mati.
Transformasi Menjadi Kota Wisata Sejarah
Menyadari ancaman ini, pemerintah daerah mulai mengembangkan strategi baru untuk menghidupkan kembali Sawahlunto. Fokus utama adalah menjadikan kota ini sebagai destinasi wisata sejarah dan budaya. Beberapa langkah konkret yang diambil antara lain:
- Revitalisasi Situs Sejarah: Bekas tambang batu bara, seperti Lubang Mbah Suro dan PLTU Ombilin, diubah menjadi destinasi wisata edukatif.
- Pemugaran Bangunan Kolonial: Gedung-gedung peninggalan Belanda, seperti Hotel Ombilin dan Museum Kereta Api Sawahlunto, dipugar agar tetap bisa dinikmati oleh generasi mendatang.
- Festival dan Kegiatan Budaya: Pemerintah mulai mengadakan berbagai acara seperti Festival Kota Tambang untuk menarik wisatawan.
- Pengakuan UNESCO: Pada tahun 2019, Sawahlunto secara resmi diakui sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO, yang semakin meningkatkan daya tariknya sebagai destinasi wisata sejarah.
Sawahlunto Hari Ini: Dari Kota Tambang ke Kota Wisata
Saat ini, Sawahlunto telah bertransformasi menjadi kota wisata yang memikat. Bangunan tua tetap dipertahankan dengan restorasi yang teliti, sehingga tidak menghilangkan nilai historisnya. Pemerintah dan masyarakat terus berupaya untuk menjaga keseimbangan antara pelestarian sejarah dan perkembangan ekonomi.
Dengan sektor pariwisata yang berkembang pesat, perekonomian kota kembali bangkit. Banyak warga yang sebelumnya meninggalkan kota kini kembali untuk mengembangkan usaha di sektor pariwisata. Hotel, restoran, dan pusat suvenir bermunculan, memberikan peluang kerja bagi penduduk lokal.
Dari sebuah kota yang hampir menjadi ‘kota hantu’, Sawahlunto kini menjadi bukti nyata bahwa dengan perencanaan yang tepat, sebuah kota tambang yang ditinggalkan dapat bangkit kembali dengan memanfaatkan sejarah dan warisan budayanya.